Monday, 18 April 2016


Sejarah Kabupaten Bireuen
 
Kabupaten Bireuen yang terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 48 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Simeulue (Lembar Negara Tahun2000 Nomor 75, Tambahan Lembar Negara Nomor 3963). Kabupaten ini memiliki Luas wilayah 1.901,21 Km2. Pada Tahun 2006, secara administratif Kabupaten Bireuen ini terdiri dari 17 Kecamatan , 70 Mukim serta 559 Desa dan 2 Kelurahan. Jumlah penduduk pada Tahun 2006 sebanyak 354.763 jiwa yang terdiri dari 174.258 laki-laki dan 180.505 perempuan dengan rasio jenis kelamin sebesar 0,97 atau dengan kata lain pada setiap seratus penduduk perempuan terdapat 97 orang.


Rata-rata kepadatan penduduk untuk setiap kilometer persegi adalah 187 jiwa. Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk yang terendah adalah Pandrah 83 jiwa perkilometer persegi sedangkan kepadatan yang tertinggi terdapat di Kecamatan Peusangan yang mencapai 43.625 jiwa perkilometer persegi dan hampir seluruh penduduk Kabupaten Bireuen beragama Islam yakni mencapai 99,58 persen.


Letak Kabupaten Bireuen sangat strategis dan potensial untuk dikembangkan sebagai kota perdagangan dan pusat pemerintahan karena diapit langsung oleh 4 (empat) Kabupaten. Masing-masing sebagai berikut:
  1. Sebelah selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah yang merupakan ”Pintu Gerbang” kawasan sentra produksi komoditas holtikultura.
  2. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pidie yang terkenal dengan hasil kerupuk Melinjo (Emping).
  3. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara sebagai Sentra Industri besar yang diharapkan dapat mengalirkan limpahan (Forward Shiffing) bagi industri kecil, dan
  4. Sebelah Utara Berbatasan langsung dengan Selat Malaka.


Kondisi keamanan di Kabupaten Bireuen saat ini sudah sudah kondusif, aman dan damai. Hal ini telah terwujud setelah penandatanganan MOU perdamaian antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada Tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki. Kondisi sekarang ini pelaksanaan pembangunan dapat dilaksanakan sampai ke daerah pedalaman yang sebelumnya hampir tidak tersentuh sama sekali. Dengan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan dan kemakmuran masyarakat, ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi pada Tahun 2005 sebesar 2,71 persen dan pertumbuhan ekonomi pada Tahun 2006 semakin baik lagi hingga mencapai 3,40 persen.



Seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi, pendapatan regional perkapita juga mengalami peningkatan. Berdasarkan harga berlaku, pada Tahun 2006 pendapatan regional perkapita Bireuen mencapai 7.670.272,74 rupiah yang mengalami peningkatan sebesar 9,72 persen di banding tahun lalu. Rata-rata pendapatan regional perkapita Kabupaten Bireuen relatif membaik

Wednesday, 13 April 2016

Hanya Ada Di Bireuen




( foto :Khairul A.K.A Bergek )







Rabu, 13 April 2016.

 Mungkin bila ada berkunjung ke kota juang bireuen anda akan melihat hal - hal yang menarik yang ada disekitar kota juang bireuen .Dan bila anda melihat foto diatas mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat bireuen, seorang pemuda yang mempunyai talenta luar biasa yang mempunyai bakat yang sangat Langka.



 ( Khairul alias Bergek )  yg tergila2 dengan lagu bergek dan bisa bergaya layaknya sperti vidio klip lagu ala - ala bergek itu pun tak merasa malu bila harus bernyanyi dan bergaya seperti idolanya tersebut, Pengunjung pun merasa terhibur bila mana dia hadir di sebuah warong kopi tempat biasanya dia nongkrong.

 
Tapi dibalik talenta yang dia punya, dia juga seorang anak yang berkebutuhan khusus, tidak seperti hal layaknya remaja- remaja normal lainnya, akan tetapi  sosok dari ( Khairul A.K.A Bergek )  bisa dijadikan contohkan walau pun di anak berkebutuhan khusus dia tidak putus asa akan nasib yang dia punya, dia pula tidak  suka mengemis dan meminta - minta sperti hal layaknya.



Bagi anda yang penasaran atas sosok (Khairul A.KA Bergek) yang penuh talenta ini anda bisa berkunjung Ke Kota Juang Bireuen , dia selalu hadir sebuah kedai kopi Ternama Di Bireuen( StarBlack Coffee )

#Hanya_Ada_DiBireuen



Sumber : Indra M. S.P.d.I







Tuesday, 12 April 2016

Situs Kerajaan jeumpa





 


Kerajaan Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur pada sekitar abad ke VIII Masehi. Hal ini berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang ditulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa.

Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pinto Ubeut. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke Pinto Rayek (pintu besar).


Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri sebuah kerajaan Hindu yang dipimpin turun temurun oleh seorang meurah. Pada saat itu kerajaan ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lain-lain. Pada awal abad VIII seorang pemuda bernama Abdullah dari India belakang memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga melalui Kuala Jeumpa dengan tujuan berdagang.
Abdullah kemudian tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tertarik dengan perilakunya. Abdullah kemudian dinikahkan dengan puteri raja bernama Ratna Kumala. Di kemudian hari Abdullah dinobatkan menjadi raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama Champia, yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sementara Bireuen sebagai ibukotanya, berarti kemenangan.


 Berdasarkan silsilah keturunan sultan-sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 H atau tahun 777 M dipimpin oleh seorang pangeran dari Persia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong (Dialek Bireuen: Manyam Seuludang) dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Duli, Syahri Tanti, Syahri Nawi, Syahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian sejarawan Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar meurah, habib, sayyid, syarif, sunan, teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahri Banun, anak Maha Raja Persia terakhir. Syahr Nawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Peureulak, bahkan dia dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Peureulak pada tahun 805 M yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz.


 Keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusuri dari pembentukan Kerajaan Perlak yang dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Syahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah. Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747.

Data Arkeologi

Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujruen, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.


Sumber

Empat Tokoh Ulama Aceh di Tahun 1945


Prof Dr M Hasbi Amiruddin, MA, Guru Besar di Fakultas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh pada Mihrab edisi Jumat ini mengulas lebih jauh peran ulama Aceh pada masa perang kemerdekaan. Dan generasi muda saat ini perlu berterima kasih dan menempatkan ulama sebagai figur penerang sepanjang masa. 
  

Sekitar tahun 1872-1873 beberapa kali Belanda memaksa kerajaan Aceh tunduk kepada kerajaan Belanda. Namun kerajaan Aceh menolak untuk tunduk kepada siapa pun kecuali kepada Allah swt. Karena itu pada tahun 1973 Belanda menyerang Aceh dengan kekuatan 6 buah kapal pasukannya.


Kendatipun Belanda dapat mencapai Masjid Raya Baiturrahman, tetapi akhirnya mereka kalah juga. Bahkan Panglima Perangnya, Jenderal Kohler, tewas di depan Masjid Raya. Suatu peristiwa yang sangat memalukan bagi bangsa Belanda. Karena tidak pernah terjadi di negara manapun, dalam perang modern, Panglima Perangnya tewas di medan perang.


Untuk menebus rasa malu itulah kemudian Belanda meminta bantuan penambahan pasukan dalam jumlah yang lebih besar untuk mengalahkan Aceh. Pada tahun 1874, Belanda kembali menyerang Aceh dengan kekuatan pasukan sepuluh kali lipat. Kali ini mereka memang mampu menguasai kota Banda Aceh dan sekitarnya. Selanjutnya Belanda dapat menguasai hampir seluruh wilayah Aceh Besar sekarang. Agaknya ketika itu perangpun hampir sunyi. Tidak ada pemimpin yang mampu mengajak rakyat untuk berperang lagi.


Melihat situasi seperti ini beberapa pejuang yang masih memiliki semangat mendatangi Tgk Tanoh Abee di Seulimum untuk meminta beliau memberikan semangat kepada rakyat Aceh untuk berjuang lagi. Setelah memperhatikan situasi, Tgk Tanoh Abee mengundang seluruh tokoh-tokoh pemimpin Aceh, baik uleebalang, ulama dan tokoh-tokoh pejuang dalam sebuah rapat rahasia di Lamsie. Dalam rapat itu Tgk Tanoh Abee memberi nasehat kepada para pejuang:


“Tenaga para pejuang masih belum hancur, tetapi yang sudah kurang yaitu kesucian batin dan kekuatan iman. Jadi sebelum kita memerangi musuh lahir, perangilah lebih dahulu musuh batin, yaitu hawa nafsu. Harta rakyat yang ada pada kita, yang telah diambil karena mengikuti hawa nafsu, serahkan kembali kepada rakyat. Janganlah rakyat itu selalu teraniaya. Tegakkanlah keadilan di tengah-tengah kita terlebih dahulu, sebelum kita meminta keadilan pada orang lain. Tobatlah terlebih dahulu wahai pejabat-pejabat, sebelum mengajak rakyat memerangi kompeni. Kalau tidak dikembalikan harta rakyat yang diambil secara tidak sah, rakyat akan membelakangi kita. Kalau yang saya minta saudara-saudara penuhi maka saya akan bersama saudara ke medan perang.
 

Ternyata kemudian tidak ada lagi pejabat yang berani datang kepada Tgk Tanoh Abee, sehingga lama sekali Aceh sunyi dari peperangan dan Belanda semakin berani memperluas areal pendudukannya. Tausiah Tgk Tanoh Abee inilah yang kemudian diamalkan oleh Tgk Chik Di Tiro sehingga beliau dapat menggerakkan lagi rakyat Aceh untuk berperang melawan Belanda kembali. Bahkan untuk modal awal berperang baik untuk kepentingan kosumsi maupun kepentingan senjata, Tgk Chik Di Tiro menggadaikan tanah sawahnya sendiri.


Saturday, 9 April 2016

Sejarah Kuta Juang Bireuen

Bireuen—Julukan Kota Juang yang ditabalkan untuk Kabupaten Bireuen menarik untuk ditelusuri asal usulnya. Terlebih masih banyak orang yang tidak mengetahuinya. Bahkan mereka yang mengaku orang Bireuen sekali pun. Tgk Sarong Sulaiman, seorang pelaku sejarah dan pejuang yang sekarang berusia 110 tahun, yang berdomisili di Desa Keude Pucok Aleu Rheng, Peudada Bireuen, saat ditemui Narit di rumahnya, kelihatan masih sehat dan ingatannya pun masih kuat. 

Menurut Kepala Badan Statistik (BPS) Aceh, Syeh Suhaimi kepada Narit, Tgk Sarong merupakan salah seorang pelaku sejarah yang masih hidup. “Beliau merupakan seorang pejuang kemerdekaan negara ini, bahkan terlibat langsung dalam masa pergerakan melawan penjajahan Belanda dulu,” kata Syeh Suheimi saat melakukan sensus penduduk di Bireuen beberapa bulan lalu. 


Bireuen itu berasal dari Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya kebajikan, dan yang memberikan nama itu juga orang Arab pada saat Belanda masih berada di Aceh.

Ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu, Kakek Sarong yang terlihat masih bugar dengan lancar menceritakan sejarah Aceh pada umumnya dan Bireuen khususnya. Tgk Sarong pernah menjadi komandan pertempuran Medan Area tahun 1946, yang saat itu diberi gelar Kowera (Komandan Perang Medan Area). 

 Ayah tiga anak dan sejumlah cucu ini, pernah ditawarkan menjadi guru ngaji di Arab Saudi, ketika dirinya bersama istri menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci pada tahun 60-an. Namun, tawaran itu ditolaknya karena sayang pada sang istri yang harus pulang ke Aceh tanpa pendamping. “Itu romansa masa lalu. Tapi, di sini (Aceh-red) saya juga menjadi guru ngaji he he he…,” katanya sambil terkekeh 


Menurut pelaku sejarah yang lancar berbahasa Arab dan Inggis ini, “Bireuen itu berasal dari Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya kebajikan, dan yang memberikan nama itu juga orang Arab pada saat Belanda masih berada di Aceh. Kala itu, orang Arab yang berada di Aceh mengadakan kenduri di Meuligoe Bupati sekarang. Saat itu, orang Arab pindahan dari Desa Pante Gajah, Peusangan, lalu mereka mengadakan kenduri. Kenduri itu merupakan kebajikan saat menjamu pasukan Belanda. Orang Arab menyebut kenduri itu Birrun. Sejak saat itulah nama Bireuen mulai dikenal,” kata pria berkulit sawo matang yang mengaku pernah jadi guru Bahasa Arab di sebuah sekolah di Aceh tempoe doeloe.


 Dengan penuh semangat, Tgk Sarong Sulaiman menceritakan, sebelum Bireuen jadi nama Kota Bireuen yang sekarang ini, dulu namanya Cot Hagu. Setelah peristiwa itulah, nama Cot Hagu menjadi nama Bireuen. “Jadi Bireuen itu bukan asal katanya dari bi reuweueng (memberi ruang/ lowong atau celah), tetapi, Birrun itulah asal kata nama Kota Bireuen sekarang,” kata pria yang mengaku pernah berhasil memukul mundur pasukan Kolonial Belanda, saat bertempur melawan penjajahan dulu. 

Asal usul Julukan Kota Juang 

 Adapun mengenai Bireuen dijuluki sebagai Kota Juang, menurut keterangan para orang tua-tua di Bireuen, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga selama seminggu, setelah Yogyakarta jatuh ke tangan penjajah dalam agresi Belanda. “Meuligoe Bupati Bireuen yang sekarang ini pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno,” kata almarhum purnawirawan Letnan Yusuf Ahmad (80), atau yang lebih dikenal dengan panggilan Letnan Yusuf Tank, yang berdomisili di Desa Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Narit berkunjung ke kediamannya sebelum almarhum dipanggil Yang Maha Kuasa. 


 Bahkan katanya, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen khususnya, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik ini, begitu besar jasanya. “Perjalanan sejarah telah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh pernah dipusatkan di Bireuen,” paparnya bersemangat.


 Saat itu, katanya, dibawah Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef yang berkedudukan di Meuligoe Bupati yang sekarang, pernah menjadi kantor Divisi X dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef. “Waktu itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai Kota Juang,” katanya.


 Presiden Soekarno, lanjut Yusuf Tank, juga pernah mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, yang bermarkas di Kantor Divisi X di Meuligo Bupati Bireuen yang sekarang. “Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta Ibukota RI yang kedua, kembali dikuasai Belanda. Kebetulan Presiden Soekarno juga berada di sana saat itu,menjadi kalang kabut. Akhirnya Soekarno memutuskan mengasingkan diri ke Bireuen pada Juni 1948, dengan pesawat udara khusus Dakota.yang dipiloti Teuku Iskandar. Pesawat itu turun di lapangan Cot Gapu,” kisahnya sambil menerawang. 


 Saat itu Soekarno disambut para tokoh Aceh diantaranya, Gubernur Militer Aceh, Teungku Daud Beureu’eh, Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para tokoh masyarakat bahkan ratusan pelajar Sekolah Rakyat (SR) dan malam harinya diselenggarakan leising (rapat umum) akbar.


 Dalam rapat itu Soekarno yang dikenal singa podium Asia dalam pidatonya membakar semangat juang rakyat di Keresidenan Bireuen apalagi pada saat itu mengatakan bahwa Belanda telah menguasai kembali Sumatera Timur (Sumatera Utara). 


 Setelah itu Kemiliteran Aceh, dari Banda Aceh dipindahkan ke Juli Keude Dua di bawah Komando Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef dengan membawahi Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo. “Dipilihnya Bireuen sebagai pusat kemiliteran Aceh, lantaran Bireuen letaknya sangat strategis dalam mengatur strategi militer untuk memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera Timur (sekarang Sumut-red),” kisah Yusuf Tank. 


 Lalu Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera silih berganti dikirim ke Medan Area. Termasuk diantaranya pasukan tank di bawah pimpinan dirinya, yang memiliki puluhan unit mobil tank hasil rampasan dari tentara Jepang. Dengan tank-tank itulah pasukan Divisi X mempertahankan Republik ini di Medan Area dan juga di zaman Revolusi 1945, Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht), pernah dipusatkan di Juli Keude Dua sekarang ini. “Aceh yang tak pernah mampu dikuasai Belanda dan Aceh juga adalah daerah modal Indonesia,” katanya penuh emosi.


 Setelah seminggu berada di Bireuen, kemudian Soekarno bersama Gubernur Militer Aceh Abu Daud Beureueh berangkat ke Kutaradja (Banda Aceh) untuk mengadakan pertemuan dengan para saudagar Aceh di Hotel Atjeh, di sebelah selatan masjid Raya Baiturrahman. Dalam pertemuan itu Soekarno ‘merengek’ kepada masyarakat Aceh untuk menyumbang dua pesawat terbang untuk negara. Siang itu Presiden Soekarno sempat tidak mau makan sebelum menadapat jawaban dari Tgk Daud Beureu’eh. Setelah berembug lagi para saudagar Aceh lalu diputuskan bersedia menyumbang dua pesawat terbang sebagaimana diminta Soekarno, lalu masyarakat Aceh dengan cepat mengumpulkan uang yang akhirnya mampu dibeli dua peswat yaitu Seulawah I dan Seulawah II. 


 Dua peswat itu juga merupakan cikal bakal lahirnya pesawat Garuda Indonesia Airways dan Radio Rimba Raya di Kawasan Kabupaten Bener Meriah. Radio Rimba Raya yang mengudara ke seluruh penjuru dunia, dengan menggunakan beberapa bahasa asing juga merupakan cikal bakal RRI sekarang ini. “Dan itu juga bagian dari radio perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia,” pungkas mantan pejuang Letnan Yusuf Tank.