Prof Dr M Hasbi Amiruddin, MA, Guru Besar di
Fakultas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh pada Mihrab edisi Jumat
ini mengulas lebih jauh peran ulama Aceh pada masa perang kemerdekaan.
Dan generasi muda saat ini perlu berterima kasih dan menempatkan ulama
sebagai figur penerang sepanjang masa.
Sekitar tahun 1872-1873
beberapa kali Belanda memaksa kerajaan Aceh tunduk kepada kerajaan
Belanda. Namun kerajaan Aceh menolak untuk tunduk kepada siapa pun
kecuali kepada Allah swt. Karena itu pada tahun 1973 Belanda menyerang
Aceh dengan kekuatan 6 buah kapal pasukannya.
Kendatipun Belanda
dapat mencapai Masjid Raya Baiturrahman, tetapi akhirnya mereka kalah
juga. Bahkan Panglima Perangnya, Jenderal Kohler, tewas di depan Masjid
Raya. Suatu peristiwa yang sangat memalukan bagi bangsa Belanda. Karena
tidak pernah terjadi di negara manapun, dalam perang modern, Panglima
Perangnya tewas di medan perang.
Untuk menebus rasa malu itulah
kemudian Belanda meminta bantuan penambahan pasukan dalam jumlah yang
lebih besar untuk mengalahkan Aceh. Pada tahun 1874, Belanda kembali
menyerang Aceh dengan kekuatan pasukan sepuluh kali lipat. Kali ini
mereka memang mampu menguasai kota Banda Aceh dan sekitarnya.
Selanjutnya Belanda dapat menguasai hampir seluruh wilayah Aceh Besar
sekarang. Agaknya ketika itu perangpun hampir sunyi. Tidak ada pemimpin
yang mampu mengajak rakyat untuk berperang lagi.
Melihat situasi
seperti ini beberapa pejuang yang masih memiliki semangat mendatangi Tgk
Tanoh Abee di Seulimum untuk meminta beliau memberikan semangat kepada
rakyat Aceh untuk berjuang lagi. Setelah memperhatikan situasi, Tgk
Tanoh Abee mengundang seluruh tokoh-tokoh pemimpin Aceh, baik
uleebalang, ulama dan tokoh-tokoh pejuang dalam sebuah rapat rahasia di
Lamsie. Dalam rapat itu Tgk Tanoh Abee memberi nasehat kepada para
pejuang:
“Tenaga para pejuang masih belum hancur, tetapi yang
sudah kurang yaitu kesucian batin dan kekuatan iman. Jadi sebelum kita
memerangi musuh lahir, perangilah lebih dahulu musuh batin, yaitu hawa
nafsu. Harta rakyat yang ada pada kita, yang telah diambil karena
mengikuti hawa nafsu, serahkan kembali kepada rakyat. Janganlah rakyat
itu selalu teraniaya. Tegakkanlah keadilan di tengah-tengah kita
terlebih dahulu, sebelum kita meminta keadilan pada orang lain. Tobatlah
terlebih dahulu wahai pejabat-pejabat, sebelum mengajak rakyat
memerangi kompeni. Kalau tidak dikembalikan harta rakyat yang diambil
secara tidak sah, rakyat akan membelakangi kita. Kalau yang saya minta
saudara-saudara penuhi maka saya akan bersama saudara ke medan perang.
Ternyata
kemudian tidak ada lagi pejabat yang berani datang kepada Tgk Tanoh
Abee, sehingga lama sekali Aceh sunyi dari peperangan dan Belanda
semakin berani memperluas areal pendudukannya. Tausiah Tgk Tanoh Abee
inilah yang kemudian diamalkan oleh Tgk Chik Di Tiro sehingga beliau
dapat menggerakkan lagi rakyat Aceh untuk berperang melawan Belanda
kembali. Bahkan untuk modal awal berperang baik untuk kepentingan
kosumsi maupun kepentingan senjata, Tgk Chik Di Tiro menggadaikan tanah
sawahnya sendiri.
No comments:
Post a Comment